EKSISTENSI
SEIJIN-SHIKI
Ita Mustikasari,
121013003, Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya
Abstrak
Upacara kedewasaan adalah acara dimana para remaja
secara resi dianggap dewasa. Di Jepang, hal itu ada ketika seseorang telah
memasuki usia ke 20. Sejak tahun 1948, upacara ini telah kenal sebagai Seijin-shiki,
yang diadakan pada hari Senin diminggu kedua Januari (Sebenarnya sampai tahun
1999, diadakan pada tanggal 15 Januari). Hari itu merupakan hari libur nasional dan pemerintah daerah umumnya mengadakan beberapa
upacara secara bersamaan. Para gadis mengenakan baju tradisional dan yukata.
Setelahnya bagi mereka yang telah mengikuti Seijin-shiki diperbolehkan untuk
merokok, minum dan mereka mendapat hak untuk memilih. Acara seperti itu jaman
dahulu lebih dikenal dengan nama genpuku di kalangan samurai. Gadis jepang
memiliki 3 maret sebagai Hina matsuri, sedangkan laki-lakinya memiliki 5 Mei
sebagai Tango no Sekku, yang diketahui juga merupakan hari libur nasional dan
hari anak, mulai 1948.
Key Words : Genpuku, Seijin-shiki, Tango no Sekku, Ceremony, Tradition.
Pendahuluan
Seijin-shiki atau upacara kedewasaan,
sampai modern ini masih tetap dilakukan. Di Jepang, setiap hari Senin minggu kedua bulan Januari dapat dipastikan
pasti hari itu adalah hari libur. Kenapa? Karena pada hari tersebut, Seijin-shiki
diadakan.Menurut shukujitsu-ho, Seijin-shiki adalah
hari peringatan dimana kaum muda Jepang telah memasuki usia dimana mereka bias
mulai belajar mandiri dan sebagai peringatan bahwa mereka sudah mulai beanjak
dewasa.
Upacara Seijin-shiki bukanlah upacara pribadi saja,melainkan
upacara yang diadakan oleh pemerintah lokal di kota dan di desa-desa. Upacara
ini dirayakan untuk meresmikan pemuda-pemudi yang ketika itu genap berumur 20
tahun (Hatachi). Ketika Usia ini,
remaja yang telah dianggap dewasa diberi 3 hak istimewa yaitu, boleh merokok,
mengkonsumsi minuman beralkohol dan dapat mengikuti pemilihan umum.
Sebenarnya
apa arti dari Seijin-shiki? Apakah dizaman modern ini, Seijin-shiki masih kerap diadakan? Artikel ini akan membahas apa sebenarnya Seijin-shiki itu, kemudian bagaimana penerapannya pada zaman
modern seperti sekarang ini.
Pembahasan
Secara harfiah, Seijin-shiki berarti upacara kedewasaan. Upacara ini tidak
tertutup untuk laki-laki saja ataupun perempuan saja. Untuk laki-laki,
upacaranya disebut Tango no Sekku
sedangkan untuk perempuan disebut Mogi.
Sayangnya, upacara kedewasaan untuk perempuan tidak terlalu dikenal. Saat ini,
yang umum didengar adalah Tango no Sekku, tetapi pada Seijin-shiki baik laki-laki ataupun wanita, keduanya ikut
melaksanakan pada Senin minggu kedua dibulan Januari.
Dalam “POWE RFULLY S ENT IMENTAL” Saigo–’s Early Years in Satsuma*
(2003:13), disebutkan bahwa :
“At age thirteen or fourteen boys began the formal,
public transition to adulthood.This was marked by three major rituals: a
genpuku ceremony, an audience with the daimyo, and the promotion from chigo to
nise. In a genpuku ceremony boys received adult clothing appropriate to their
station; chose a new, adult name; and shaved the front of their heads, the
forelocks. They grew the rest of their hair long and dressed it in a variety of
ponytails, commonly known as topknots. In Saigoμ’s day this hairstyle, originally
developed to conform to warrior helmets, was a sign of manhood for both samurai
and commoners. A man’s hair immediately marked his sexual status. Shaved
forelocks marked an adult man who could initiate sexual activity, either with
his wife, a concubine, a prostitute, or a young boy.
Genpuku
Genpuku atau dikenal juga dengan nama Genbuku
adalah upacara atau ritual sebagai tanda bahwa usia laki-laki dari kalangan
samurai dan bangsawan sudah cukup atau dianggap dewasa. Umumnya laki-laki yang
melakukan Genpuku berusia 10 – 16
tahun. Genpuku juga bisa disebut ‘Kakan’ atau ‘Hatsukan’, nama tersebut didapat karena mahkota atau hiasan yang
dikenakan diatas kepala pada upacara kedewasaan ini yang disebut kanmuri[1]
dikenakan untuk pertama kalinya oleh anak laki-laki yang menjalani upacara
kedewasaan ini. Sebenarnya, Genpuku
sudah dikenal mulai zaman Heian, tetapi ketika memasuki zaman Meiji, Genpuku sudah jarang dilakukan lagi.
Dalam Early modern japan 'an
interdisciplinary journal (2011: 11), menyebutkan :
“In ie directly linked to official state
power, such as those of the shogun or daimyo, the coming-ofage ceremony
(genpuku) was held during early childhood in order to enable boys to
politically and socially quickly reach adulthood. Ordinary commoners’ lives, however,
complied with the following lifecycle. A ‘child’ (chigo) before the age of
seven (counting in the old customary fashion in which a person was age one at
birth) was still considered to belong to the world of the gods (ancestral
spirits) but after that was accepted as a fellow member of the human world as a
‘child’ (kodomo). Boys at around the age of fifteen moved from the realm of
children to adults based on their ability to do the work of adults.”
Umumnya, Genpuku dilakukan sebagaai pertanda kedewasaan bagi anak laki-laki yang sudah berusia 15 tahun. Upacara ini dilakukan di depan kuil Shinto milik keluarga. Dahulu, kalangan bawah atau rakyat biasa tidak pernah melakukan upacara ini, karena selain terbeban biaya, upacara seperti ini ahanya populer dikalangan bangsawan dan samurai saja. Untuk pakaian, yang dikenakan ketika menjalani genpuku adalah pakaian yang dianggap sebagai pakaian orang dewasa. Kemudian model rambut ditata dengan model belah tengah yang sebagian lainya diikat menutupi daun telinga. Rambut laki-laki yang telah menjalani Genpuku disebut juga kanmuri shita no motori (digelung diatas kepala). Kemudian syarat lain dari Genpuku adalah harus adanya eboshi-oya atau wali dan wali ini haruslah orang dewasa (jika terpaksa boleh orang yang lebih tua).
Dalam cerita klan Genji (Minamoto)
dan Heike (Taira), ada perbedaan cara Genpuku
dalam dua keluarga ini. Cara Heike adalah dengan mencukur habis alis mata
mereka kemudian wajahnya dirias dengan riasan yang tebal dan alisnya digambar
ulang, alis ini disebut hikimayu.
Kemudian gigi klan Heike dihitamkan secara keseluruhan atau ohaguro. Sedangkan klan Genji, upacara
kedewasaan ala Genji jarang sekali memakai riasan seperti hikimayu atau ohaguro.
Setelah genpuku, mereka akan melepas nama kecil mereka kemudian menggantinya
dengan imina atau nama kehormatan.
Untuk Minamoto no Yoshitsune, nama kecilnya adalah Ushiwaka Maru atau Shanaou.
Baru sejak zaman Muromachi, Genpuku meluas dikalangan rakyat biasa. Anak
laki-laki dari kalangan orang biasa, untuk pertama kalinya dipakaikan fundoshi oleh heko-oya. Sejak zaman Edo, anak
perempuan juga mengikuti upacara Genpuku.
Usia cukup umur untuk genbuku bagi wanita adalah 18-20 tahun atau lebih muda
bila wanita tersebut sudah menikah. Wanita yang menjalani genbuku mengenakan
kimono sederhana dengan model rambut marumage. Dibandingkan sebelum Genpuku, rias wajah yang digunakan lebih
tebal dari hikimayu. Gigi dihitamkan (ohaguro) dengan bantuan
orang yang disebut kane-oya. Bila gigi dihitamkan tetapi alis mata tidak
dicukur maka disebut han-genbuku (setengah genbuku). Tradisi ini masih
berlanjut di kalangan maiko distrik Gion (Kyoto) dan beberapa kawasan hiburan
tradisional di Jepang.
Pada abad 19, perayaan Genpuku mulai berkurang. Ini karena berubahnya
struktur pemerintahan di Jepang saat itu. Pada tahun 1876, orang jepang
dianggap dewasa secara hukum saat mereka menginjak usia 20 tahun. Pada masa
itu, perayaan hari dewasa belum dirayakan secara formal.
[1] Kanmuri
is a traditional Japanese headgear worn by Shinto priests and nobleman as part
of a ceremonial dress.
Tango no Sekku.
Dikalangan masyarakat Tionghoa-Indonesia,
tanggo no sekku lebih dikenal sebagai Duanwu
Jie atau Peh Cun. Tanggo
no sekku dikenal juga sebagai hari anak atau Kodomo no Hi, yaitu hari libur bagi anak yang jatuh pada tanggal 5
Mei bertepatan dengan Golden Week. Golden Week adalah hari libur yang
dimulai dari ahir April hingga awal Mei. Mulai diperingati sekitar rahun 1948
dan ditetapkan sebagai hari libur nasional Jepang oleh Shikujitsu-hou untuk menghormati keperibadian baru sang anak dan
sebagai tanda penghormatan pada sang ibu. Bagi sang ibu sendiri, hari itu
digunakan sebagai hari untuk merencanakan kebahagian anak mereka.
Hari
Anak-anak dulu disebut Hari Anak Laki-laki, sehingga hari libur ini pada
kenyataanya lebih dihiasai tradisi-tradisi untuk anak laki-laki. Untuk anak
perempuan, perayaannya lebih dikenal dengan nama Hina matsuri yang dirayakan dengan hiasan-hiasan bagi wanita yaitu
boneka-boneka kecil yang dipajang didalam rumah. Hina Matsuri dirayakan pada
tanggal 3 Maret dan pada hari tersebut bukanlah hari libur.
Tradisi kuno Tiongkok mengenal perayaan yang berkaitan dengan
musim yang disebut di Jepang sebagai sekku. Sejak zaman dulu, bulan ke-5
kalender Tionghoa diisi dengan kegiatan mengusir roh-roh jahat. Dan tanggal 5
bulan 5 dikenal sebagai Tango no sekku atau disebut juga Duanwu dan merupakan hari untuk
merayakan kesehatan dan pertumbuhan untuk anak laki-laki.
Pada Tanggo no sekku,
hiasan matsuri yang sangat umu adalah Koinobori.
Bentuknya seperti umbul-umbul berbentuk ikan yang dipajang didepan rumah
keluarga yang merayakan Tango no sekku
dan Kodomo no hi, hal itu bertujuan
unutk mendoakan anak agar sukses. Koinobori
yang tertiup angin telah menjadi simbol perayaan Hari Anak-anak. Kalau zaman
dulu Koinobori berkibar di tengah musim
hujan, Koinobori yang sekarang
mengingatkan orang Jepang tentang langit biru yang cerah di akhir
musim semi.
Seijin no Hi
Pada
tahun 1948, perayaan hari menuju kedewasaan Seijin
no Hi dijadikan hari libur nasional
oleh pemerintah. Hal ini dilakukan agar kaum muda Jepang dapat menjadi lebih
sadar dan bertanggung jawab atas hidupnya. Sejak tahun 1948, Seijin no Hi dirayakan tiap tanggal 15 Januari.
Tapi, Sejak tahun 2000 hingga sekarang, Seijin
no Hi dirayakan pada hari Senin minggu kedua dibulan Januari.
Orang Jepang yang telah menginjak
usia 20 tahun telah dianggap dewasa secara hukum. Pada usia 20 tahun mereka
diizinkan merokok, minum minuman keras dan berhak ikut dalam pemilihan umum.
Dan jika mereka melakukan perkara kriminal, nama asli mereka boleh diumumkan
secara resmi di depan publik. Dapat dikatakan, usia 20 tahun merupakan masa
perubahan yang perubahan yang besar bagi orang Jepang.
Yang ingin mengikuti perayaan Seijin no Hi harus sudah berusia 20
tahun sebelum tanggal 20 April pada tahun yang bersangkutan. Biasanya mereka
merayakannya di kampung halaman mereka masing-masing. Ada juga yang menggunakan
kesempatan ini untuk bertemu kembali dengan teman-teman masa sekolah dulu. Perayaan
ini dihadiri oleh walikota. Mereka akan mengucapkan sepatah dua patah kaa
sebagai sambutan dan juga memberikan semacam hadiah kenang-kenangan kepada para
peserta. Para partisipan laki-laki akan memakai setelan jas ala barat dan yang wanita
memakai furisode. Furisode adalah semacam kimono yang
memiliki lengan yang panjang dan menjuntai ke bawah. Sebagai aksennya mereka
juga mengenakan stola yang terbuat dari semacam bulu-bulu putih. Bagi yang
mampu, mereka akan khusus memesan atau membeli furisode. Tapi ada juga yang
menyewanya.
Setelah itu mereka akan pergi ke
kuil untuk berdoa. Umumnya setiap kuil mempunyai ritual tersendiri dalam
upacara Seijin no Hi. Ritual ini di
maksudkan agar anak muda Jepang menjadi dewasa dan jadi lebih sabar serta mampu
mengendalikan diri dalam menghadapi tantangan hidup.
Setelah mengikuti serangkaian
upacara yang melelahkan, mereka akan berfoto-foto bersama. Bahkan ada yang
dengan sengaja berfoto di studio foto. Ini adalah kesempatan langka bagi para
gadis karena mereka jarang memakai furisode. Ada beberapa orang yang sengaja
menyimpan foto saat mereka memakai furisode. Ini untuk berjaga-jaga, kalau di
masa datang nanti mereka akan dinikahkan dengan cara Omiai. Sayangnya, seiring dengan semakin majunya zaman,
akhir-akhir ini kaum muda Jepang tidak begitu menganggap penting Seijin no Hi. Bahkan dirasa Seijin no Hi adalah acara membosankan dan
melelahkan serta menghabiskan banyak uang.
Kesimpulan
Karena
adanya perubahan cara pemerintahan, banyak upacara tradisional terhapus dari
masyarakat Jepang. Salah satunya adalah Genpuku
yang sekarang sudah tidak ada masyarakat jepang merayakannya. Beralih dari Genpuku menjadi Seijn no Hi, upacara tradisional seperti Hina matsuri dan Tanggo no
Sekku pun muncul dan dianggap sebagai salah satu acara atau upacara
nasionalisme Jepang. Dibuktikan dengan dibuatnya tanggal 5 bulan kelima sebagai
hari libur nasional.
Keberadaan
upacara-upacara tradisional yang memiliki nilai sejarah adalah sesuatu yang
patut dipertahankan. Selain mengajarkan nilai-nilai luhur, acara tersebut juga
memberi pelajaran moral tersendiri untuk tiap-tiap individunya. Tetapi seiring
berkembangnya zaman, kegiatan-kegiatan tradisional seperti Seijin shiki yang
mulai
ditinggalkan oleh kalangan muda. Karena dirasa hanya sebagai sarana
bersenang-senang yang membosankan dan menghabiskan sejumlah uang,
upacara-upacara seperti ini sudah lumayan berkurang peminantnya.
0 komentar:
Posting Komentar