About Me

Foto Saya
Itaku801
Selamat.... datang :D Niatnya mau ngomong selamat pagi/siang/sore atau malam, tapi berhubung setiap orang yang berkunjung tidak memiliki pattern khusus dalam konteks waktu, saya ucapkan Selamat Datang ^_^ Blog saya terdiri dari 3 blog yang sama-sama diisi untuk menghabiskan waktu luang... -シンカスガ -Shin Kasuga -Awan Ungu Jika anda penasaran tentang BLOG seperti apa Awan Ungu ini, sedikit omongan.. ini blog tentang pikiran Itak selaku writter.. Penting? jawabnya [Nggak]. Kalo gak baca rugi? jawabnya juga [Nggak]... Trus gunanya apa dong?? hmmm.. apa ya.. share cerita... :D yah begitulah kawan-kawan, ini adalah blog iseng saya..
Lihat profil lengkapku

ChatBOX

Categories

Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Pribadi yang isinya seputar Hobby Shin,...

Blogger templates

Facebook : Shin no Da
Twitter : @Shinkasuga
If you have some question, mail me on 'sh117masa@gmail.com' ^_^


Senin, 23 Juli 2012

EKSISTENSI SEIJIN-SHIKI


EKSISTENSI SEIJIN-SHIKI


Ita Mustikasari, 121013003, Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya
 
Abstrak
Upacara kedewasaan adalah acara dimana para remaja secara resi dianggap dewasa. Di Jepang, hal itu ada ketika seseorang telah memasuki usia ke 20. Sejak tahun 1948, upacara ini telah kenal sebagai Seijin-shiki, yang diadakan pada hari Senin diminggu kedua Januari (Sebenarnya sampai tahun 1999, diadakan pada tanggal 15 Januari). Hari itu merupakan  hari libur nasional dan pemerintah daerah umumnya mengadakan beberapa upacara secara bersamaan. Para gadis mengenakan baju tradisional dan yukata. Setelahnya bagi mereka yang telah mengikuti Seijin-shiki diperbolehkan untuk merokok, minum dan mereka mendapat hak untuk memilih. Acara seperti itu jaman dahulu lebih dikenal dengan nama genpuku di kalangan samurai. Gadis jepang memiliki 3 maret sebagai Hina matsuri, sedangkan laki-lakinya memiliki 5 Mei sebagai Tango no Sekku, yang diketahui juga merupakan hari libur nasional dan hari anak, mulai 1948.

Key Words : Genpuku, Seijin-shiki, Tango no Sekku, Ceremony, Tradition.

Pendahuluan
            Seijin-shiki atau upacara kedewasaan, sampai modern ini masih tetap dilakukan. Di Jepang, setiap hari Senin minggu kedua bulan Januari dapat dipastikan pasti hari itu adalah hari libur. Kenapa? Karena pada hari tersebut, Seijin-shiki diadakan.Menurut shukujitsu-ho, Seijin-shiki adalah hari peringatan dimana kaum muda Jepang telah memasuki usia dimana mereka bias mulai belajar mandiri dan sebagai peringatan bahwa mereka sudah mulai beanjak dewasa.
Upacara Seijin-shiki bukanlah upacara pribadi saja,melainkan upacara yang diadakan oleh pemerintah lokal di kota dan di desa-desa. Upacara ini dirayakan untuk meresmikan pemuda-pemudi yang ketika itu genap berumur 20 tahun (Hatachi). Ketika Usia ini, remaja yang telah dianggap dewasa diberi 3 hak istimewa yaitu, boleh merokok, mengkonsumsi minuman beralkohol dan dapat mengikuti pemilihan umum.
Sebenarnya apa arti dari Seijin-shiki? Apakah dizaman modern ini, Seijin-shiki masih kerap diadakan? Artikel ini akan membahas apa sebenarnya Seijin-shiki itu, kemudian bagaimana penerapannya pada zaman modern seperti sekarang ini.
Pembahasan
Secara harfiah, Seijin-shiki berarti upacara kedewasaan. Upacara ini tidak tertutup untuk laki-laki saja ataupun perempuan saja. Untuk laki-laki, upacaranya disebut Tango no Sekku sedangkan untuk perempuan disebut Mogi. Sayangnya, upacara kedewasaan untuk perempuan tidak terlalu dikenal. Saat ini, yang umum didengar adalah Tango no Sekku, tetapi pada Seijin-shiki baik laki-laki ataupun wanita, keduanya ikut melaksanakan pada Senin minggu kedua dibulan Januari.

Dalam “POWE RFULLY S ENT IMENTAL” Saigo–’s Early Years in Satsuma* (2003:13), disebutkan bahwa :


“At age thirteen or fourteen boys began the formal, public transition to adulthood.This was marked by three major rituals: a genpuku ceremony, an audience with the daimyo, and the promotion from chigo to nise. In a genpuku ceremony boys received adult clothing appropriate to their station; chose a new, adult name; and shaved the front of their heads, the forelocks. They grew the rest of their hair long and dressed it in a variety of ponytails, commonly known as topknots. In Saigoμ’s day this hairstyle, originally developed to conform to warrior helmets, was a sign of manhood for both samurai and commoners. A man’s hair immediately marked his sexual status. Shaved forelocks marked an adult man who could initiate sexual activity, either with his wife, a concubine, a prostitute, or a young boy.
Genpuku
Genpuku atau dikenal juga dengan nama Genbuku adalah upacara atau ritual sebagai tanda bahwa usia laki-laki dari kalangan samurai dan bangsawan sudah cukup atau dianggap dewasa. Umumnya laki-laki yang melakukan Genpuku berusia 10 – 16 tahun. Genpuku juga bisa disebut ‘Kakan’ atau ‘Hatsukan’, nama tersebut didapat karena mahkota atau hiasan yang dikenakan diatas kepala pada upacara kedewasaan ini yang disebut kanmuri[1] dikenakan untuk pertama kalinya oleh anak laki-laki yang menjalani upacara kedewasaan ini. Sebenarnya, Genpuku sudah dikenal mulai zaman Heian, tetapi ketika memasuki zaman Meiji, Genpuku sudah jarang dilakukan lagi.
Dalam Early modern japan 'an interdisciplinary journal (2011: 11), menyebutkan :

“In ie directly linked to official state power, such as those of the shogun or daimyo, the coming-ofage ceremony (genpuku) was held during early childhood in order to enable boys to politically and socially quickly reach adulthood. Ordinary commoners’ lives, however, complied with the following lifecycle. A ‘child’ (chigo) before the age of seven (counting in the old customary fashion in which a person was age one at birth) was still considered to belong to the world of the gods (ancestral spirits) but after that was accepted as a fellow member of the human world as a ‘child’ (kodomo). Boys at around the age of fifteen moved from the realm of children to adults based on their ability to do the work of adults.”

         Umumnya, Genpuku dilakukan sebagaai pertanda kedewasaan bagi anak laki-laki yang sudah berusia 15 tahun. Upacara ini dilakukan di depan kuil Shinto milik keluarga. Dahulu, kalangan bawah atau rakyat biasa tidak pernah melakukan upacara ini, karena selain terbeban biaya, upacara seperti ini ahanya populer dikalangan bangsawan dan samurai saja. Untuk pakaian, yang dikenakan ketika menjalani genpuku adalah pakaian yang dianggap sebagai pakaian orang dewasa. Kemudian model rambut ditata dengan model belah tengah yang sebagian lainya diikat menutupi daun telinga. Rambut laki-laki yang telah menjalani Genpuku disebut juga kanmuri shita no motori (digelung diatas kepala). Kemudian syarat lain dari Genpuku adalah harus adanya eboshi-oya atau wali dan wali ini haruslah orang dewasa (jika terpaksa boleh orang yang lebih tua).
Dalam cerita klan Genji (Minamoto) dan Heike (Taira), ada perbedaan cara Genpuku dalam dua keluarga ini. Cara Heike adalah dengan mencukur habis alis mata mereka kemudian wajahnya dirias dengan riasan yang tebal dan alisnya digambar ulang, alis ini disebut hikimayu. Kemudian gigi klan Heike dihitamkan secara keseluruhan atau ohaguro. Sedangkan klan Genji, upacara kedewasaan ala Genji jarang sekali memakai riasan seperti hikimayu atau ohaguro. Setelah genpuku, mereka akan melepas nama kecil mereka kemudian menggantinya dengan imina atau nama kehormatan. Untuk Minamoto no Yoshitsune, nama kecilnya adalah Ushiwaka Maru atau Shanaou.
Baru sejak zaman Muromachi, Genpuku meluas dikalangan rakyat biasa. Anak laki-laki dari kalangan orang biasa, untuk pertama kalinya dipakaikan fundoshi  oleh heko-oya. Sejak zaman Edo, anak perempuan juga mengikuti upacara Genpuku. Usia cukup umur untuk genbuku bagi wanita adalah 18-20 tahun atau lebih muda bila wanita tersebut sudah menikah. Wanita yang menjalani genbuku mengenakan kimono sederhana dengan model rambut marumage. Dibandingkan sebelum Genpuku, rias wajah yang digunakan lebih tebal dari hikimayu. Gigi dihitamkan (ohaguro) dengan bantuan orang yang disebut kane-oya. Bila gigi dihitamkan tetapi alis mata tidak dicukur maka disebut han-genbuku (setengah genbuku). Tradisi ini masih berlanjut di kalangan maiko distrik Gion (Kyoto) dan beberapa kawasan hiburan tradisional di Jepang.
Pada abad 19, perayaan Genpuku  mulai berkurang. Ini karena berubahnya struktur pemerintahan di Jepang saat itu. Pada tahun 1876, orang jepang dianggap dewasa secara hukum saat mereka menginjak usia 20 tahun. Pada masa itu, perayaan hari dewasa belum dirayakan secara formal.


[1] Kanmuri is a traditional Japanese headgear worn by Shinto priests and nobleman as part of a ceremonial dress.



Tango no Sekku.
Dikalangan masyarakat Tionghoa-Indonesia, tanggo no sekku lebih dikenal sebagai Duanwu Jie atau Peh CunTanggo no sekku dikenal juga sebagai hari anak atau Kodomo no Hi, yaitu hari libur bagi anak yang jatuh pada tanggal 5 Mei bertepatan dengan Golden Week. Golden Week adalah hari libur yang dimulai dari ahir April hingga awal Mei. Mulai diperingati sekitar rahun 1948 dan ditetapkan sebagai hari libur nasional Jepang oleh Shikujitsu-hou untuk menghormati keperibadian baru sang anak dan sebagai tanda penghormatan pada sang ibu. Bagi sang ibu sendiri, hari itu digunakan sebagai hari untuk merencanakan kebahagian anak mereka.
            Hari Anak-anak dulu disebut Hari Anak Laki-laki, sehingga hari libur ini pada kenyataanya lebih dihiasai tradisi-tradisi untuk anak laki-laki. Untuk anak perempuan, perayaannya lebih dikenal dengan nama Hina matsuri yang dirayakan dengan hiasan-hiasan bagi wanita yaitu boneka-boneka kecil yang dipajang didalam rumah. Hina Matsuri dirayakan pada tanggal 3 Maret dan pada hari tersebut bukanlah hari libur.
Tradisi kuno Tiongkok mengenal perayaan yang berkaitan dengan musim yang disebut di Jepang sebagai sekku. Sejak zaman dulu, bulan ke-5 kalender Tionghoa diisi dengan kegiatan mengusir roh-roh jahat. Dan tanggal 5 bulan 5 dikenal sebagai Tango no sekku atau disebut juga Duanwu dan merupakan hari untuk merayakan kesehatan dan pertumbuhan untuk anak laki-laki.
Pada Tanggo no sekku, hiasan matsuri yang sangat umu adalah Koinobori. Bentuknya seperti umbul-umbul berbentuk ikan yang dipajang didepan rumah keluarga yang merayakan Tango no sekku dan Kodomo no hi, hal itu bertujuan unutk mendoakan anak agar sukses. Koinobori yang tertiup angin telah menjadi simbol perayaan Hari Anak-anak. Kalau zaman dulu Koinobori berkibar di tengah musim hujan, Koinobori yang sekarang mengingatkan orang Jepang tentang langit biru yang cerah di akhir musim semi.

Seijin no Hi
Pada tahun 1948, perayaan hari menuju kedewasaan Seijin no Hi  dijadikan hari libur nasional oleh pemerintah. Hal ini dilakukan agar kaum muda Jepang dapat menjadi lebih sadar dan bertanggung jawab atas hidupnya. Sejak tahun 1948, Seijin no Hi dirayakan tiap tanggal 15 Januari. Tapi, Sejak tahun 2000 hingga sekarang, Seijin no Hi dirayakan pada hari Senin minggu kedua dibulan Januari.
Orang Jepang yang telah menginjak usia 20 tahun telah dianggap dewasa secara hukum. Pada usia 20 tahun mereka diizinkan merokok, minum minuman keras dan berhak ikut dalam pemilihan umum. Dan jika mereka melakukan perkara kriminal, nama asli mereka boleh diumumkan secara resmi di depan publik. Dapat dikatakan, usia 20 tahun merupakan masa perubahan yang perubahan yang besar bagi orang Jepang.
Yang ingin mengikuti perayaan Seijin no Hi harus sudah berusia 20 tahun sebelum tanggal 20 April pada tahun yang bersangkutan. Biasanya mereka merayakannya di kampung halaman mereka masing-masing. Ada juga yang menggunakan kesempatan ini untuk bertemu kembali dengan teman-teman masa sekolah dulu. Perayaan ini dihadiri oleh walikota. Mereka akan mengucapkan sepatah dua patah kaa sebagai sambutan dan juga memberikan semacam hadiah kenang-kenangan kepada para peserta. Para partisipan laki-laki akan memakai setelan jas ala barat dan yang wanita memakai furisode. Furisode adalah semacam kimono yang memiliki lengan yang panjang dan menjuntai ke bawah. Sebagai aksennya mereka juga mengenakan stola yang terbuat dari semacam bulu-bulu putih. Bagi yang mampu, mereka akan khusus memesan atau membeli furisode. Tapi ada juga yang menyewanya.
Setelah itu mereka akan pergi ke kuil untuk berdoa. Umumnya setiap kuil mempunyai ritual tersendiri dalam upacara Seijin no Hi. Ritual ini di maksudkan agar anak muda Jepang menjadi dewasa dan jadi lebih sabar serta mampu mengendalikan diri dalam menghadapi tantangan hidup.
Setelah mengikuti serangkaian upacara yang melelahkan, mereka akan berfoto-foto bersama. Bahkan ada yang dengan sengaja berfoto di studio foto. Ini adalah kesempatan langka bagi para gadis karena mereka jarang memakai furisode. Ada beberapa orang yang sengaja menyimpan foto saat mereka memakai furisode. Ini untuk berjaga-jaga, kalau di masa datang nanti mereka akan dinikahkan dengan cara Omiai. Sayangnya, seiring dengan semakin majunya zaman, akhir-akhir ini kaum muda Jepang tidak begitu menganggap penting Seijin no Hi. Bahkan dirasa Seijin no Hi adalah acara membosankan dan melelahkan serta menghabiskan banyak uang.


Kesimpulan
Karena adanya perubahan cara pemerintahan, banyak upacara tradisional terhapus dari masyarakat Jepang. Salah satunya adalah Genpuku yang sekarang sudah tidak ada masyarakat jepang merayakannya. Beralih dari Genpuku menjadi Seijn no Hi, upacara tradisional seperti Hina matsuri dan Tanggo no Sekku pun muncul dan dianggap sebagai salah satu acara atau upacara nasionalisme Jepang. Dibuktikan dengan dibuatnya tanggal 5 bulan kelima sebagai hari libur nasional.
Keberadaan upacara-upacara tradisional yang memiliki nilai sejarah adalah sesuatu yang patut dipertahankan. Selain mengajarkan nilai-nilai luhur, acara tersebut juga memberi pelajaran moral tersendiri untuk tiap-tiap individunya. Tetapi seiring berkembangnya zaman, kegiatan-kegiatan tradisional seperti Seijin shiki yang mulai ditinggalkan oleh kalangan muda. Karena dirasa hanya sebagai sarana bersenang-senang yang membosankan dan menghabiskan sejumlah uang, upacara-upacara seperti ini sudah lumayan berkurang peminantnya.

separador

0 komentar:

Posting Komentar

徴収一

徴収一
カズキヨネ先生

徴収二

徴収二
Armen Noir

徴収三

徴収三
カズキヨネ先生

Followers

お客ーさま